Menurut Sureq Galigo, padi baru diperkenalkan sekitar setahun kemudian dihitung dari awal kedatangan Batara Guru yaitu ketika salah seorang isterinya bernama Wé Saung Riuq melahirkan seorang putri yang diberi nama Wé Oddang Riuq. Hanya tujuh hari usianya ia lalu meninggal. Maka dicarilah hutan yang lebat, gunung yang tinggi, dan hulu sungai untuk dibuatkan makamnya. Hanya tiga malam setelah anak itu dimakamkan, Batara Guru ditimpa rasa rindu yang amat sangat, lalu pergi mencari makam anaknya itu. Tetapi yang ditemuinya bukan makam, melainkan hamparan tanaman, ada yang kuning, ada yang hitam, ada yang putih, ada yang merah, dan ada yang biru. Karena herannya ia langsung pergi menghadap Patotoqé (ayahnya) untuk menanyakan apa gerangan yang ia jumpai itu. Jawaban yang ia peroleh ialah:
"Ia na ritu anaq riaseng Sangiang Serri Anaqmu ritu mancaji asé"
Artinya: "Itulah (Paduka) anakda yang disebut Sangiang Serri Anakmu itulah yang menjelma menjadi padi".
Karena itu tidaklah mengherankan bila di kalangan masyarakat Bugis (dahulu), padi sangat dihormati, bahkan dikeramatkan, yang pada momen - momen tertentu dalam daur hidupnya ia diupacarai dengan berbagai acara yang hikmat (sakral), baik pada saat sebelum panen (prapanen), maupun sesudah panen (pasca-panen)
Daftar isi:
1. Tuntunan Masa Prapanen
Keterangan mengenai kedua hal ini terdapat pada Sureq Galigo yang dijalin dalam bentuk cerita. Yang pertama merupakan petunjuk pengelolaan Sangiang Serri prapanen. Ceritanya bermula pada waktu Wé Tennridio putri Sawerigading jatuh sakit (tak mau makan dan berbicara). Menurut bibinya,yaitu saudara kembar Sawerigading bernama Tenriabeng, anak itu harus diberi makan wettè. Hal ini berarti padi harus ditanam lebih dahulu. Atas perintah Sawerigading diadakan persiapan peralatan yang dibutuhkan (paréwa tédong paddiuma), berupa kerbau dan kelengkapannya (ajoɑ, parajo = ketaya, rakkala, babba, salaga dan rompa = pabbéléq) yang langsung dibawa ke sawah oleh para bangsawan istana sendiri. Persemaian pun dikerjakan/disiapkan.
Setelah rampung, diperintahkan pula boné ballaq (isi istana) untuk mallukka lappo (membongkar tumpukan padi), merendam benih (maddummèbine), meniriskan dan memeramnya di sekitar tiang turus rumah. Kegiatan ini diawali dengan meletuskaan bedil, disusul dengan pelaksanaan upacara Bissu⁴
Acara berikutnya ialah mengantar Sangiang Serri ke sawah untuk ditaburkan di pesemaian (mangampo) dengan upacara kebesaran seperti layaknya mengantar seorang raja besar, memakai usungan, payung kebesaran, tari-tarian, nyanyian dan bunyi-bunyian bissu.
Kegiatan berikutnya ialah massisi biné (mencabut benih) dan mattaneng (menanam padi).
Selang tiga bulan padi dijenguk pula dengan mengadakan upacara mappassili dan mallekkeq Sangiang Serri untuk dibuat wettè. Upacaranya sama dengan upacara ketika benih diantar ke sawah, ditambah dengan pelepasan bojo, lojoq dan dongi ulaweng (alat kerajaan).
Akhirnya tibalah waktunya menggala (menuai), Para parenggala (penuai), pabbésse (pengikat), pallémpaq (penggandar), diantar ke sawah. Setelah panen selesai Sangiang Serri pun diantar lagi ke rumah dengan upacara yang sama ketika dahulu ia diantar ke sawah.
Naskah lain yang juga memberikan petunjuk tentang pengelolaan tanaman padi terutama berhubungan dengan kualitas bibit dan pengelolaan tanaman, ialah cerita roman Bugis klasik yang berjudul “Pau-paunna La Galigo Dado Dallopi-opie”. Dalam roman tersebut diceritakan bahwa WéAneq ketika dilamar oleh La Dado, (ia) mengajukan permohonan mahar/syarat berupa padi yang bulir-bulirnya besar sehingga bila diangkut dengan pemikul biasa, pemikul itu akan patah. Selain daripada itu La Dado harus mampu pula meluku di awan dan menanam di pelangi, seperti dapat dibaca di bawah ini;
“Adanna kua Inanna awiseng passaungngedé“Madeceng ritu adammu ukkaq timu mapatammula pa sia kutangkei Tepppoengeng ulengngedé Conengngi wettoengngedé Tanengngengi taraue Makkurengngi peretwi Maddaunq ni Boting Laniq Taroe asé manuruŋg Asé tompoq ni bitaraé Kua walida daunna Kua taropong wessera Kua tikka lengorena Riengngala meccaq-meccaq, Riétènggala tassimmalu Riwesse i tabbussa Rilémpaq polo lémpagé Rijumpang sebboq bakue Ritekeq tédong camara Camara tanruq koba Bellang to pa gariginna Rittedo i potto buneŋ Majang lolo paddeŋenna Babba ulaweng manuruŋg Sarampaqé ngengi ri munri.
Artinya:
“Berkatalah Ibunda Wanita Sang Penyabung itu “Baik sekali perkataanmu, ucapanmu juga cukup santun. Baru akan kuterima lamarannya Yang mampu meluku bulan, Menyambar bintang Yang sanggup menanami pelangi Akarnya tertancap di pertiwi Daunnya menjulur hingga ke langit Yang menanam padi manurung Padi yang muncul di langit Bagaikan belida daunnya, Bagaikan teropong batangnya Bagaikan tikka katannya Berdecak-decak kedengaran bila dituai Bila dienggam tangan pun lunglai Dikapukan akan patah Bila dipukul terteburai kayu pikulan Kalau dijujung bakul akan bocor Diangkut dengan kerbau cemara Yang bertanduk putih Belang pula geriginya Yang hidupnya dicocok gelang emas Dibimbing oleh pemuda hiasan gelanggang Cemeti emas manurung Yang melecutnya dari belakang
2. Tuntunan Masa Pasca-Panen
Sesudah padi berada di rumah tidaklah berarti segala urusan telah selesai. Persoalannya sebagai bahan makanan pokok sesungguhnya baru mulai. Masalah yang timbul ialah bagaimana ia disimpan, diolah menjadi bahan makanan, disajikan dan disantap.
Sebagai rahmat karunia Yang Maha Kuasa, umat manusia seharusnyatetap menunjukkan sikap hormat kepadanya. Orang Bugis mengungkapkan hal tersebut dalam karya sastra yaitu Sureq Galigo. Sudah pada episode awalnya –Riulona Batara Guru— diceritakan bahwa bernama Wé Pada Lattuq yaitu La Urung Mpessi bersama isterinya yang bakal mertua Batara Uleng meninggal bersamaan secara mendadak, kena tulah karena berbuat tidak senonoh terhadap Sangiang Serri. Diceritakan bahwa pada suatu ketika ia mengadakan perhelatan dengan mengundang banyak orang.
"Ngkiling makkeda ri makunrai biritana "Adécéngenna wéggang muani lé ritaroang bungpalallo Rijajatta anri ponratu Tapaddarannq ngi awana langiq Ménéna"
Artinya: “Berpaling sambil berkata kepada isteri sejodohnya Sudah sepaturenya benar Kita adakan kenduri besar Untuk anak kita paduka Adinda Kita undangkan sekolong langit Sepetala bumi
Karena itu hidangan yang ia persiapkan juga cukup banyak, tetapi yang datang tidak seberapa.
“Sakko makkéda To Anjalika, Pappaja sai lé sawungngé, palloqbang toi lé wala-walaié, apaq ia na ri masuana polé padanna punna lipué ni Tompoq Tikkaq”
Artinya: “Berseru berkata To Anjalika, “Hentikan saja sabungan itu, kosongkan pula gelanggang, sebab tak satupun undangannya yang datang”
Disebabkan oleh amarah yang tak terkendalikan, ia menumpahkan semua nasi dan membuangnya ke sungai
“Natijangmua La Urung Mpessi lalo saliwerng terréangi wi balubu lakko angaderenna tijjang patanna tuang kakka i lé inanré passaliwerng ngi ri minangagé pattuppui wi soloq mallari ri minangagé mapu-apu i balubu lakko angaderenna sawung pessi wi siworengé pué-pué i alanro kati attemminenna mancaji jimpe tappa jawae”
Artinya: “Berdiri La Galigo Urumpessi lalu berjalan ke depan, menghamburkan guci kelengkapan hidangnya tega ia menumpahkan nasi dan membawanya ke sungai mengarahkan kepadanya arus yang deras membeleh guci-guci kelengkapan hidangnya memukul dengan besi piring-piring memecahkan gelas tempat minumnya menjadikan jimpe buatan jiwa”
Petunjuk lengkap mengenai tata cara memperlakukan padi (Sangiang Serri) pascapanen diuraikan dengan bentuk cerita dalam episode khusus yang berjudul “Galigona Méompalo Karellae”.
Ceritanya bermula pada waktu ada seekor kucing belang tiga (Méompalo Karellaé) dipukul dan disiksa oleh yang empunya rumah karena ia mencuri ikan yang baru dibeli di pasar. Waktu itu, kucing tersebut berkeliling di daerah Soppeng, Mattabulu, Enrekang, Lamuru dan akhirnya tiba di Maiwa
Terkenang ia ketika dahulu berkeliling di Tempé, Tampangeng, Wage, Cenrana, Téteaji, dan Tancung. Tak pernah ia disakiti, meskipun ia mengambil ikan yang besar-besar.
Dewi padi Sangiang Serri bersedih melihat sang kucing pengawal setianya diperlakukan seperti itu, lalu mengajak pengikutnya (semua jenis padi-padian) untuk meninggalkan negeri tersebut, pergi mencari budi pekerti yang luhur (pangampe madeceng), entah wanita yang peramah atau lelaki yang piawai, tidak berbuat tipu muslihat, pandai menjemput padi (wisesa), tahu menempatkan Sangiang Serri
Berangkatlah ia bersama rombongannya. Mula-mula mereka tiba di Langkemmeq, lalu ke Lakessiq, Mangkuttu, Labosoq, Bulu Dua, sampai di Watu-watu, dan bermalam di Lisu. Tetapi belum satu pun yang berkenan dihati mereka.
Di rumah-rumah pemuka mayarakat yang ia kunjungi masih terdapat hal-hal yang tidak menyenangkan, kecuali di daerah Beru. Di tempat ini ia disambut dengan ramah tamah penuh dengan adat kebesaran.
Karena itu mereka langsung pergi ke langit menghadapi paduka nenendanya untuk melaporkan pengalaman sedih yang ia derita di bumi dan memohon agar ia diperkenankan menetap di langit. Mengingat akan nasib manusia yang akan mati kelaparan bila tak ada padi dan tumbuhan sejenisnya, maka neneknya mendesaknya untuk kembali ke Bumi melaksanakan tugasnya menghidupi umat manusia (mempeq tinio). Sangiang Serri tak dapat mengelak, tugas itu diterimanya kembali tetapi dengan syarat manusia harus,
Mampu mengendalikan amarah, rukun suami dan isteri, tidak bertengkar antara sesama anggota keluarga, kasih sayang kepada anak.
Santun, hemat, dan cermat dalam memperlakukan padi (Sangiang Serri)
Jujur, berbudi luhur, rajin dan tidak serakah
Sayang pada binatang, tetapi waspada terhadap hama (dongi, bojo,lojog).
Selain La Galigo sebagai sumber informasi tentang sikap dan pandangan manusia Bugis terhadap budidaya padi, juga patut disebut Lontaraq. Sumber yang satu ini (lontaraq) selalu mengaitkan kegagalan panen dengan perilaku buruk pelaku pemerintahan atau anggota masyarakat pada umumnya. Kegagalan panen karena padi di makan tikus, biasa dikaitkan dengan penyelewengan seorang hakim dalam di makan tikus, biasa dikaitkan dengan penyelewengan seorang hakim dalam pemerintahan yang berlaku curang. Menurut Macacaé ri Luwuq (penasehat kerajaan Luwuq) ada beberapa pantangan Sangiang Serri. Artinya bila hal ini dilakukan, panen akan gagal.
Hubungan gelap akan gagal.
Hubungan seks antara seorang lelaki dengan seorang perempuan.
Seorang lelaki berselingkuh dua jenis kelamin sejenis.
Hakim tidak berpantang (menghalahkan semua cara)
Rakyat saling bermusuhan.
Pemimpin berbuat serong terhadap isi rumahnya.
3. Bertanam Padi Dalam Kenyataan
Hikmah yang dapat dipetik dari cerita di atas ialah petani secara tersamar ditunjuk untuk menunjukkan kepeduliannya yang serius terus menerus sepanjang pertumbuhan padi yang ia tanam sampai berhasil dipanen. Karena pengaruh cerita ini meninggalkan kesan yang sangat mendalam, maka dalam praktek masyarakat tani (Bugis) melakukan hampir semua yang terdapat dalam cerita itu. Mereka pertama-tama mengadakan upacara tudang padduma (berkumpul untuk membicarakan kapan akan dimulai turun ke sawah) dengan segala kegiatan membicarakan kapan akan dimulai saluran air, persiapan peralatan, dan yang terkait, seperti pembersihan ditanam pada wilayah tertentu.
Kemudian diadakanlah upacara madoja biné yang meliputi kegiatan malukka lappo (mengambil padi dari lumbung), melurut atau meluruhnya (maddéseq), merendam (madddemme biné), dan meniriskan serta memeramnya di sekitar turus rumah. Pemeraman benih ini diawasi, terutama pada malam hari dengan berbagai-bagai malam. Untuk mengisi waktu berjaga-jaga itulah diadakan hidangan makan dan minum ala kadarnya, yaitu pembagian naskah (massureq) seperti telah disebutkan di atas padi, serta Rilkeqecna Sangiang Serri.
Kegiatan berikutnya ialah mangampé biné (menabur benih). Benih yang sudah diperam, dibawa ke sawah pun diadakan di persemaian. Upacara doa dan tolak bala(mantéra) agar terhindar dari segala macam gangguan dan kembali dengan selamat dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Upacara selanjutnya ialah yang biasa disebut madduppa asé (menyambut kedatangan kembali Sangiang Serri) dengan acara mappassili, yaitu memercikkan ramuan air tertentu dengan maksud mengusir segala bala yang mungkin menimpa. Padi yang telah mulai matang disebut werre, sambil menari bergembira ria (mappadendang)
Sebagai kegiatan terakhir dalam masa ini ialah upacara yang disebut mappamula (mulai menuai) atau mappaqguling peppaq (membawa berkeliling tali pengikat padi) dilanjutkan dengan pekerjaan menuai yang sesungguhnya.
Patut pula dicatat bahwa sejak dini petani Bugis sudah diingatkan untuk selalu memperhatikan kualitas benih dan profesionalisme dalam mengelola tanah.
Adapun pelaksanaan petunjuk Sangiang Serri (pasca panen) seperti terdapat di atas sepanjang yang penulis alami sendiri –hampir semuanya ditaati oleh masyarakat seperti;
Menyimpan padi di tempat yang patut (rakkeang atau lumbung)
Menyimpan padi dan mengambil dari lumbung dilakukan denganhikmat, sekurang-kurangnya mencuci kaki terlebih dahulu, memakai baju serta sarung diikat.
Pada waktu menjemur dan menumbuk padi, harus dijaga jangan sampai terbuai dan dilarikan ayam
Ketika makan tidak boleh bercakap-cakap atau berjalan-jalan. Jangan sampai nasi terburai dan ada tersisa di piring sesudah kenyang.
Api di dapur tidak boleh padam.
Tempatan tempat menyimpan air (bémpa) tidak boleh kering dan tempat menyimpan beras (pabbaresseng) harus ditutup dan tidak boleh kosong.
Perempuan tidak boleh bertengkar di depan dapur.
Sayang pada kucing
Penutup/Kesimpulan
Masyarakat Bugis menerima kehadiran tanaman padi sebagai rahmat karunia Tuhan yang patut disyukuri.
Sebagai wujud kesyukuran, padi seharusnya dipelihara dengan cermat dan tidak dikonsumsi secara berlebihan
Masyarakat Bugis selalu berikhtiar meningkatkan kualitas padi dan tata cara pengelolaannya.
Untuk meningkatkan ketahanan pangan seharusnya tanaman pangan selain padi juga terus ditingkatkan kualitasnya (jagung, sorgum, jewawut, ubi, keladi, dan sagu).
Informasi teknis pengelolaan tanah/tanaman dapat berhasil dan meninggalkan kesan mendalam bila dilakukan melalui cerita non- faktual.