![]() |
Bersyukur atas setiap anugerah Tuhan, secuil kebahagiaan sederhana yang tak ternilai harganya. Kehidupan sederhana, penuh syukur. |
Di sebuah desa terpencil di lereng Gunung Bawakaraeng, hiduplah seorang gadis bernama Aminah. Kehidupannya sederhana, jauh dari hingar-bingar kota. Rumahnya terbuat dari kayu sederhana, atapnya terbuat dari rumbia, dan halamannya dipenuhi tanaman sayur mayur yang ia rawat sendiri. Setiap hari, Aminah membantu ibunya berjualan hasil kebun di pasar kecil. Keuntungannya tak seberapa, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Banyak orang di desa menganggap Aminah kurang beruntung. Mereka memiliki rumah yang lebih baik, sawah yang luas, dan penghasilan yang lebih besar. Namun, Aminah selalu tersenyum. Ia selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya. Setiap pagi, sebelum memulai aktivitasnya, ia selalu memanjatkan doa syukur, mengucapkan terima kasih atas udara segar, sinar matahari yang menghangatkan, dan makanan yang ada di hadapannya.
Baca Juga : Mentari Di Ujung Jalan
Suatu hari, terjadilah bencana alam. Banjir bandang menerjang desa, menghancurkan banyak rumah dan sawah. Aminah dan ibunya selamat, namun rumah mereka rusak parah. Banyak tetangganya kehilangan segalanya. Di tengah kepiluan itu, Aminah tetap tegar. Ia membantu membersihkan puing-puing rumah tetangganya, membagi makanan yang masih tersisa, dan menghibur mereka yang kehilangan.
Melihat ketulusan dan ketabahan Aminah, banyak orang terinspirasi. Mereka menyadari bahwa kekayaan materi bukanlah segalanya. Kebahagiaan sejati terletak pada rasa syukur atas karunia Tuhan, sebesar apapun cobaan yang dihadapi. Aminah, dengan kesederhanaannya, telah mengajarkan sebuah pelajaran berharga tentang arti hidup yang sesungguhnya: bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan, dan berbagi dengan sesama. Dan dari reruntuhan rumahnya, Aminah dan ibunya membangun kembali kehidupan mereka, lebih kuat dan lebih bersatu dari sebelumnya.